Di zaman modern ini, kaum intelektual menjadi sebuah strata yang
relatif heterogen dalam posisi dan
tradisi sosialnya, hal demikian merupakan akibat dari polarisasi makna
intelektual serta perannya dalam masyarakat. Apakah intelektual sebagai
kreator, distributor, atau sebagai motivator serta peran apa yang akan
dijalankan di tengah masyarakatnya, apakah ia sebagai penggagas, penentang,
atau pelaksana dari sebuah gagasan, atau paling tidak ia adalah pembawa gagasan
atau sebuah persoalan. Disisi lain, mereka mulai menemukan jalan buntu dalam
perkembangan masyarakatnya akibat dari kebingungan-kebingunan terhadap
fungsinya di zaman sekarang ini. Saat yang bersamaan, intelektual negara-negara
berkembang sedang berjuang melawan berbagai kesulitan dan kekurangan yang
dihadapi mereka serta masyarakatnya. Selain itu, intelektual tersebut sedang
mengalami suatu kontradiksi dalam dirinya mengenai kebebasan intelektualnya
dengan kepercayaan ideologisnya.
Sementara di Eropa, menurut Eyerman, kaum intelektual mendapat tantangan
besar untuk memainkan perannya semaksimal mungkin, semenjak masuknya negara ke
dalam sistem kemakmuran abad ke-20 yaitu demokrasi kapitalis, kaum intelektual
kemudian terdomestifikasi. Mereka menjadi kekuatan eksternal yang berdiri di
luar sistem politik; mereka menjadi akademisi profesional yang merupakan
konsekuensi revolusi pendidikan yang terjadi pada era 1950-an; mereka menjadi
manager di dalam imperium akademik; atau mereka dikooptasi kedalam “angkatan
bersenjata” para pekerja sosial, analisis kemakmuran dan birokrat pendidikan.
Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang hanyut dalam kekuasaan tanpa
memperhatikan lagi tanggung jawab sosialnya untuk memberikan sebuah intervensi
terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Akhirnya terlihat adanya permasalahan didalam kaum intelektual itu
sendiri, yaitu intelektual telah kehilangan kecendekiawanannya. Permasalahan para intelektual setidaknya dapat diklasifikasikan menjadi dua problem yaitu : Pertama, adalah problem keterasingan (kegelisahan) intelektual yang bersumber
dari problem epistemologis. Problem ini menyangkut dimensi relativitas
paradigmatis dan teoritis dari setiap kerangka pemikiran yang dipakai sebagai
pendekatan untuk memahami berbagai fenomena eksistensial; baik manusia (jati
diri) dan masyarakat (kultur), maupun alam semesta (natur), dan Kedua,adalah problem yang menyangkut
dimensi moral-sosial, problem yang menyangkut dimensi moralitas dan etika
Cendekiawan itu sendiri; bagaimana mengaktualisasikan tanggung jawab sosial,
komitmen dan pemahaman moralitas-etik dirinya dalam konteks kehidupan riil
masyarakatnya, baik dalam konteks politik, ekonomi maupun kebudayaan.
Sejak dasawarsa 80-an gejala intelektual yang terjadi di Indonesia
adalah diferensiasi dan spesialisasi arena kegiatan kaum intelektual yaitu
adanya lingkaran kecil di lingkungan intelektual dalam struktur teknokrati yang
dihuni oleh unsur intelektual. Kaum intelektual selalu berbicara tentang
problem mereka yang mendasar, yakni harus mencari nafkah hidup, sehingga mereka
harus terlibat dalam birokrasi untuk mempertahankan kepentingan rakyat dan
kebutuhan ekonominya. Dengan itulah mereka harus meninggalkan masyarakatnya,
tidak bisa terlibat langsung dan tidak merasakan apa yang dirasakan rakyatnya.
Justru intelektual yang sudah menduduki kursi pemerintahan selalu hanyut dalam
jabatan dan melupakan kepentingan rakyatnya. Begitu juga dengan agamawan kita
serta para elit lain yang cenderung melupakan rakyatnya ketika sudah
mendapatkan kedudukan.
Hal ini tampak jelas dari
kecenderungan elit politik, agamawan, dan elit ekonomi kita yang dalam tindakan
kesehariannya tidak memperlihatkan usaha untuk merubah pelbagai tatanan
kehidupan yang telah mengalami keterpurukan di berbagai bidang, malah yang
tampak hanya usaha-usaha pelanggengan ketertindasan. Elit politik hanya sibuk
pada perebutan kekuasaan, elit ekonomi sibuk berselingkuh dengan kaum kapital
(berinvestasi), dan agamawan sibuk pada permasalahan fiqh, mendikte, serta
mengajarkan tentang agama yang masih abstrak seperti suri tauladan para nabi
secara luas, namun tidak pada titik permasalahan yang dirasakan masyarakat
yaitu ketertindasan, kemiskinan, dan pengangguran. Ironisnya para agamawan
bangsa ini terjerembab ikut dalam politik pragmatis.
Ali syari’ati dengan jiwa revolusionernya menentang para
ilmuwan-gadungan, elit (penguasa), dan para pemimpin-pemimpin agama yang
menyelewengkan ajaran Islam, meracuni jiwa rakyat dengan fatwa dan rakyat
dibuat terus sibuk dengan sesuatu yang dinamakan agama, abstraksi-abstraksi
tertentu yang tak berguna seperti cinta, harapan, kebencian, ketidaksenangan,
dan dengan tangisan-tangisan dan kejadian-kejadian yang hanya sedikit mereka
ketahui. Rakyat dibiasakan pada kehidupan gila-gilaan dengan gagasan tentang
hari akhirat, sementara keadaan masa kini mereka dan musuh-musuh mereka
terlupakan. Dengan kata lain, mereka selalu menawarkan gagasan kehidupan
akhirat sedangkan kehidupan dunia terlupakan. Kehidupan dunia dianggap hanya
sebuah permainan tuhan semata dan melihat permasalahn dunia sebagai takdir
tuhan yang tak bisa diubah.
Melihat adanya fenomena tersebut, maka kehadiran intelektual muslim
yang bertanggung jawab terhadap keadaan masyarakatnya sebagai
sebuah alternatif untuk membangun Indonesia secara mendasar mutlak diperlukan.
Karena Intelektual Muslim memiliki peran yang amat vital dan strategis dalam
upaya mewujudkan masyarakat sipil atau civil society, bukan malah
kebalikannya, seperti kebanyakan ulama “kyia” di seluruh penjuru dunia umumnya
dan khususnya di Indonesia yang hanya memberi doktrin-doktrin semata dan
menjadikan masyarakat tertidur dengan doktrin tersebut.
terima kasih ilmunya. semoga bermanfaat
BalasHapus