Minggu, 19 Januari 2014

MASALAH, DAN SOSLUSI REMAJA SAAT INI dalam Masyarakat Multikultural


Siapa bilang jadi remaja kreatif itu susah?
Siapa pun dia, dari kalangan anak-anak, remaja, maupun dewasa pasti ingin menjadi manusia yang kreatif. Pada hakikatnya menjadi remaja kreatif itu mudah karena banyak sekali cara yang bisa mereka lakukan agar dapat berkreasi dan dapat mengembangkan bakat yang dimiliki. Disadari atau tidak  kreatif dan cerdas merupakan modal utama bagi seorang remaja untuk meraih masa depannya. 
Kalau ditanya tentang berapa banyak remaja yang ingin cerdas dan kreatif, pasti setiap remaja ingin cerdas dan kreatif, akan tetapi hampir sebanyak itu juga remaja yang tidak mau mengembangkan bakat yang mereka miliki dan mengasah potensi diri mereka agar menjadi remaja yang cerdas dan kreatif. Dari beberapa pertanyaan yang diajukan kepada remaja, berikut alasan yang mereka tuturkan.
1.     Mayoritas dari remaja sebelum memulai pekerjaan selalu mengatakan “nggak bisa”. Kata-kata inilah yang tidak asing berkumandang ditelinga kita dari mulut para remaja ketika disuruh bekerja atau berbuat sesuatu. Mereka seringkali tidak percaya dengan kemampuan yang mereka miliki dengan kata lain mereka kurang percaya diri. Inilah yang dinamakan dengan kalah sebelum berperang. Seperti inikah mental generasi muda kita?.
2.   Belum mencoba sudah bilang “nggak mau”. Kalau sudah mengatakan nggak mau, apa boleh buat! Maka secara tidak langsung kreatifitas langsung terbunuh. Bagaimana bias menjadi orang yang cerdas dan kreatif, belum melakukan sudah berkata tidak mau. Hal ini disebabkan oleh gengsi dari remaja ketika melakukan pekerjaan yang dianggap bias melunturkan harga dirinya, padahal pekerjaan tersebut dapat membuat mereka kreatif. Sehingga timbul dalam benak kita, sebenarnya kegiatan apakah yang mereka inginkan yang tidak membuat mereka gengsi?. Seharusnya para remaja jangan gengsi untuk melakukan berbagai kegiatan yang belum kita lakukan karena siapa tahu dari kegiatan coba-coba tersebut mereka menemukan bakat mereka yang selama ini terpendam. Tapi, ingat kegiatan yang kita lakukan haruslah kegiatan yang positif. Jangan melakukan kegiatan coba-coba yang berbau negatif, karena bukannya menjadi remaja yang kreatif malahan menjadi remaja yang tidak bermoral
3.   Kurang percaya diri. Siapa yang bisa? Seluruh remaja langsung menunjuk teman-temannya untuk maju atau berbicara. Padahal ia mampu menjawab maupun member solusi yang pantas, akan tetapi karena ia takut salah, ia menyuruh temannya untuk maju. Hal ini tidak jarang kita temui di berbagai kegiatan baik disekolah maupun dipertemuan-pertemuan formal dan nonformal. Sampai kapan remaja kita berani mengungkapkan isi hati dan pemikirannya untuk lebih baik lagi.
4.    Tidak mengetahui kelebihan diri-sendiri. Coba tanya pada remaja saat ini, apakah anda memiliki kelebihan. Secara spontan mereka mengangkat tangan dan menggaruk-garuk kepala. Pertanyaan ini saja tidak mampu dijawab, bagaiman ia bisa menciptkan hal yang baru atau lebih kreatif lagi. Diri-sendiri saja belum ia kenal apalagi pekerjaan apa yang harus ia lakukan atau karya apa yang bisa ia ciptakan?
5.    Sudah nyaman dengan keadaan sekarang. Apa yang akan dilakukan seorang remaja kalau ia sudah merasa puas dengan yang ia miliki saat ini. Ia tidak akan berani untuk membuat yang baru karena takut akan kehilngan yang ia miliki saat ini. Justru lebih ironis lagi, remaja yang nyaman dengan kondisi ketertinggalannya. Ia senang menghabiskan waktu dengan kesenangan yang sebenarnya belum menciptakan yang dahsyat. Sampai kapan ia akan merasa tenang dengan ia miliki sekarang padahal kebutuhan semakin bertambah seiring dengan perkembangan zaman.
6.  Kurangnya kesadaran generasi muda untuk berkreasi, remaja saat ini lebih cenderung mengahabiskan waktu mereka dengan hal-hal yang tidak berguna. Bisa dilihat dari aktifitas mereka yang enggan untuk mengisi waktu mereka dengan hal yang bermanfaat seperti membaca, menulis, atau mencoba menciptakan benda-benda yang berguna bagi kehidupannya. Malah yang tampak pada kegiatan remaja adalah jalan-jalan ke mall, ke pantai, hura-hura untuk menghabiskan sisa waktu setelah belajar. Caranya ialah, dengan cara mencari jati diri kita. Tidak sulit menjadi remaja yang kreatif. Hal ini tentunya berdasarkan dari keinginan teman-teman sendiri. Jika orang bisa kenapa kita nggak?. Tapi ingat, dalam melakukan kegiatan, sekolah tetap nomor satu, jangan sampai sekolah tinggal hanya gara-gara menekuni banyak kegiatan, ya percuma saja. Karena remaja yang kreatif itu adalah remaja yang bukan hanya sukses dalam berbagai kegiatan tapi juga sukses dalam urusan belajar disekolah.

Yang Harus Dilakukan Para Remaja
1.    Menjadi Manusia Proaktif. Jadilah manusia yang proaktif. Yaitu manusia yang mengerjakan sesuatu dengan sepenuh hati dan tanpa ada rasa terpaksa.
2.      Mulailah segala sesuatu dari tujuan ahirnya. Setiap pekerjaan yang kita lakukan harus memiliki visi. Visi inilah yang member gambaran dan arahan bagaimana tujuan ahir akan dicapai. Dengan adanya visi kita akan bersemangat, fokus sekaligus melakukan tindakan-tindakan bertahap yang diperlukan agar visi terwujud. Dengan memulai sesuatu dari tujuan ahirnya, maka kita akan terhindar dari menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang dalam jangka panjang atau bentuk ahir yang tidak bermanfaat.
3.   Dahulukan Yang Pertama. Dalam hidup selalu ada hal penting dan hal kurang penting atau bahkan tidak penting sama sekali. secara sederhana, kita bisa membagi aktivitas untuk menentukan mana yang penting mana yang tidak, mana yang urgent dan mendesak dan mana yang tidak. Sering kali orang tercampur dan tidak bisa membedakan antara sesuatu yang penting dan sesuatu yang mendesak.
4.    Berpikir Menang. Setiap orang punya kepentingan. Sering kali kita tidak sadar ingin menang sendiri. Kita ingin melakukan sesuatu yang menguntungkan diri kita namun merugikan orang lain. Atau kalupun tidak sampai merugikan orang lain, kita hanya memikirlkan kepentingan kita dan tidak peduli apakah hal-hal yang menjadi perhatian orang lain ikut dipertimbangkan atau tidak. Tindakan disini disebut Win-Lose. Satu pihak menang namun pihak lainya harus kalah. Memang tidak mudah untuk membiasakan cara berfikir win-win. Ini menuntut sikap empati terhadap situasi yang dihadapi orang lain. Berpikir win-win akan menjauhkan kamu dari cara bertindak egois yang hanya ingin kepentingan pribadi diutamakan. 
5.    Pahami Lebih Dulu Orang Lain, Agar Mereka Juga Bisa Memahami kamu. Orang bijak mengatakan, kita memiliki dua telinga dan satu mulut agar lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Keterampilan mendengarkan atau listening menjadi penting buat semua orang, terutama jika kamu seorang pemimpin. Mendengarkan yang sesungguhnya adalah kita menaruh perhatian atas apa yang disampaikan orang lain, berusaha memahaminya, dan berusaha melihat dari sudut pandangnya. Dengan demikian kita menjadi paham mengapa orang tersebut cenderung melakukan sesuatu dengan cara tertentu, atau mengapa dia lebih memilih melakukan sesuatu dan meninggalkan yang lainnya. Kebiasaan ini mengajarkan kepada kita untuk men-diaknosa permasalahan dengan baik sebelum member tindakan.
6.    Melakukan Sinergi Dengan Orang Lain.Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Itu sebabnya kita akan selalu saling membutuhkan. Kekurangan kita ditutupi oleh kelebihan yang dimiliki orang lain dan sebaliknya apa yang menjadi kelebihan diri kita dapat dimanfaatkan untuk membantu orang lain. Inilah kerjasama harmonis di mana masing-masing pihak menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing dan memilih bersinergi, bukan berjalan sendiri-sendiri.
7.  Pertajam Segala Macam Bentuk Penglihatan Diri. Ini dimaksudkan sebagai cara agar kamu melakukan tindakan yang dapat mempertajam segala macam bentuk sensor pribadi yang ada di dalam diri. Mulai dari dimensi fisik, mental, sosial, emosional, dan juga spiritual. Semua dimensi ini harus dijaga supaya seimbang. Tujuanya tentu saja agar peningkatan produksi bisa di sadari dan dijadikan sebagai kebiasaan yang tak lagi dilakukan secara paksa.

Senin, 03 Juni 2013

Negara Berkembang dan Negara Maju

NEGARA BERKEMBANG DAN NEGARA MAJU 
Perjalanan dua hari untuk perbandingan 
        Berangkat dari kota Batam menuju Singapura merupakan pengalaman sangat berharga. Setibanya disana langsung terengah dengan suasana yang damai, bersih, dan tertib. Gedung-gedung mewah tidak menghalangi pandangan indah karena tertata rapi dan berseri. Alangkah senangnya diriku kalau Indonesia seperti itu. Jalan raya terdapat mobil-mobil mewah jalan dengan rapi dan motor tanpa terdengar suara berisik yang disebabkan oleh cnal pot racing. Meski di perempatan jalan tidak terlihat pos polisi atau Polisi lalu lintas, semua tatatertib telah di indahkan oleh warganya. Bayangkan saja kalau di sana terdapat polisi menjegat mobil atau motor yang melanggar bisa lepas dengan begitu saja karena disogok uang! Pasti sudah kelihatan di CCTV yang selalu siaga untuk memantau. Ternyata CCTV sedikit bermanfaat untuk memberantas korupsi karena barang elektronik tidak bisa disogok. 
     Negara maju memiliki fasilitas umum yang disediakan untuk masyarakat, sedangkan di negara berkembang fasilitas umum diganti menjadi fasilitas negara yang digunakan untuk pejabat-pejabat negara sebagai ganti kata masyarakat. Kalau ditilik lebih lanjut, negara maju seperti Singapura memiliki fasilitas umum yang teratur contohnya rusun yang disediakan kepada warganya merupakan upaya penertiban tatakota atau perumahan agar terlihat rapi. Tongsampah tersedia dimana-mana dan bagi warga yang membuang sampah sembarangan akan dikenakan denda. Andaikata tongsampah disediakan di Indonesia, mungkinkah bertahan lama atau justru hilang? Terlihat beberapa gambaran betapa majunya pemikiran warga dan pemerintah di negara maju dan berkembangnya pemikiran warga negara berkembang sehingga tongsampah juga berkembang.

Selasa, 19 Maret 2013

Industri Budaya dan Industri Pengetahuan



A.   Industri Budaya
Industri adalah pengelolahan bahan mentah menjadi bahan jadi untuk siap dijual dan dijadikan sebagai komoditas di pasar. Sedangkan budaya melingkupi semua aspek kegiatan dan hasil cipta masyarakat dari leluhur hingga saat ini. Lain halnya dengan Industri budaya yakni budaya dijadikan sebagai bahan mentah yang akan diproduksi massa oleh masyarakat dunia. Budaya di sini dimaksud budaya Barat yang dijual dan sangat laris peminatnya di negara-negara berkembang. Sedangkan budaya negara tersebut hampir punah bahkan hilang ditelan zaman.
Industri budaya juga sering disebut sebagai industri yang menjadikan kebudayaan sebagai komoditas untuk diperjual-belikan untuk mencari keuntungan semata. Dengan kata lain, industri budaya merupakan proses industrialisasi budaya yang diproduksi massal dan disebarluaskan kepada massa oleh media seperti televisi, majalah, atau internet. Berkaitan dengan ini pula, Industri budaya telah melahirkan “budaya massa” yang dianut oleh masyarakat dunia. Budaya massa tersebut sebenarnya palsu karena telah dikemas oleh kapitalis, pemerintah atau orang yang berkepentingan. Budaya yang merembah kepelbagai penjuru dunia ini sesungguhnya tidak riil (irasional) dan menghancurkan moral budaya lokal. Pada akhirnya kesadaran massa dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan eksternal seperti industri budaya dan industri pengetahuan.
Herbert Marcuse menilai bahwasanya masyarakat saat ini tampak sebagai perwujudan rasionalitas, akan tetapi sebenarnya irasionalitas karena telah menelan mentah-mentah budaya yang merasupi dirinya. Masyarakat irasionalitas disebabkan oleh televisi yang seharusnya sebagai alat untuk mensosialisasikan nilai dan norma positif malah digunakan untuk mensosialisasikan hal-hal negatif, menyeragamkan budaya dan menundukkan rakyat. Keadaan seperti inilah yang sering disebut sebagai “masyarakat satu dimensi” karena teknologi memperbudak dan menindas pengetahuan masyarakat keseluruhan. Jaringan televisi sebagai agen industri sudah mengendalikan kebudayaan modern dan menyeragamkan kebudayaan secara menyeluruh. Media massa sangat konfliktual tempat bertemunya kekuatan ekonomi, politik, sosial dan kultural.  Sedangkan Kellner melihat televisi sebagai ancaman bagi demokrasi, individualitas, dan kebebasan. ia mengajukan saran yaitu televisi seharusnya sebagai akuntabilitas yang lebih demokratis, akses dan partisipasi warga negara yang lebih besar, lebih banyak keragaman dalam televisi. Ada 2 hal yang mendasar dikhawatirkan dari industri kebudayaan yaitu:
1.       Kepalsuan fakta atau isi yang ada didalamnya karena merupakan hasil gagasan yang telah dikemas sebelumnya.
2.       Menaklukkan, refresif, dan membodohkan bagi masyarakat.

B.    Industri Pengetahuan
Industri pengetahuan merupakan industri yang menciptakan suatu ilmu pengetahuan untuk dijadikan sebagai komoditas atau alat untuk menindas demi kepuasan pribadi. Hal ini  bisa dilihat dari makna  ideologi sebagai sistem gagasan yang seringkali palsu dan mengaburkan karena ideologi tersebut merupakan hasil cipta dari elite yang berkepentingan dalam masyarakat. Ideologi diciptakan dan dikemas sebaik-baik mungkin seakan-akan kepentingan rakyat dan pemahaman yang telah mendarah daging di masyarakat. Banyak gagasan-gagasan yang diciptakan oleh para elit untuk mengelabuhi masyarakat demi kepentingan individu maupun kelompoknya semata. Ideologi telah didistorsi lewat kekuatan sosial. Ideologi dijadikan sebagai teori dari pengetahuan yang keliru. Selain itu, Habermas mengatakan dengan pernyataan lain tentang gagasan yang telah dimananifulasi dengan istilah legitimasi yang dimaknai sebagai suatu sistem gagasan yang dibangun oleh sistem politik, dan secara teoritis oleh sistem lain untuk menopang eksistensi sistem tersebut. Legitimasi ini dirancang untuk “memistifikasi” sistem politik, membuatnya mengaburkan hal-hal yang sesungguhnya terjadi.
Pengetahuan telah diobrak-abrik oleh sebagian kecil kalangan teoritis, pengusaha, penguasa, elit politik, dan intelektual. Pengetahuan diciptakan hanya untuk menciptakan pembenaran bukan menciptakan kebenaran. Hal ini karena pengetahuan diciptakan bukan berasal dari data empiris di masyarakat, pengetahuan tercipta dari teori yang didasarkan pada data empiris. Durkheim berpendapat bahwasanya pengetahuan manusia bukanlah hasil pengalamannya sendiri dan bukan pula karena kategori yang telah dimiliki sejak lahir yang dapat kita pakai untuk memilah-milah pengalaman. Akan tetapi saat ini, teori diciptakan atas dasar data empiris yang telah diciptakan oleh para penguasa dan dari pengetahuan mereka ciptakan kenyataan palsu di masyarakat. Seperti halnya Bacon menyatakan pengetahuan memiliki fungsi menjelaskan kenyataan, ia memberi contoh dari fungsi seni sebagai representasi dari sebuah tiruan realitas (Simulacrum of Reality), tetapi sebenarnya seni selalu memanfaatkan kekuatan imajinasi untuk menyampaikan tiruan dari realitas yang diubah dan disesuaikan dengan idealnya manusia, mengenai apa yang benar dan pantas, kemudian digarap hampir mendekati keinginan-keinginan manusia, sehingga menghasilkan realitas yang lebih menarik dari realitas sehari-hari dalam kehidupan aktual.
Hal yang sulit dihindari tentang ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kekuasaan. Saat seseorang berkuasa, ilmu pengetahuan yang dimilikinya akan memengaruhi segala kebijakannya. Michel Foucault mengungkapkan bahwa pertautan kekuasaan dan ilmu pengetahuan selalu membangun hubungan menguatkan. Kekuasaan sebagai kompleks strategi dinamis bisa diperankan individu atau institusi, dan kekuasaan bekerja berdasarkan mekanisme kerja ilmu pengetahuan yang dimiliki. Bagi Foucault, kekuasaan tidak pernah lepas dari pengetahuan. Untuk itu, Foucault mengatakan bahwa “kekuasaaan menghasilkan pengetahuan…. Kekuasaan dan pengetahuan saling terkait… tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan”(Surveiller et Punir (1975), hal. 36).

Rabu, 30 Januari 2013

Masyarakat Multikultural., pengertian, karakteristik, ciri, dan faktor penyebab.



A. Pengertian Masyarakat Multikultural 
         Di Indonesia, konsep tentang multikulturalisme telah lama diperbincangkan oleh para tokoh sosial maupun agama. Hal ini berkaitan dengan masyarakat Indonesia yang memiliki banyak sukubangsa, agama, dan ras. Dengan itulah konsep masyarakat multikultural menjadi topik yang relevan untuk ditelaah karena sesuai dengan semboyan Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Masyarakat multikultutral disini lebih dipandang sebagai masyarakat yang memiliki kesederajatan dalam bertindak di negara meski berbeda-beda sukubangsa, ras, maupun agama. Lebih tepatnya masyarakat multikultural tidaklah hanya sebagai konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, akan tetapi menekankan pada keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Dalam artian lain, multikulturalisme dinyatakan sebagai sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan atas perbedaan kebudayaan. Untuk lebih jelasnya, berikut pengertian masyarakat multikultural menurut beberapa tokoh: 
  1. Furnivall, Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen (kelompok) yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu satu kesatuan politik. 
  2. Clifford Gertz, Masyarakat multikultural adalah merupakan masyarakat yang terbagi dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing sub sistem terkait oleh ikatan-ikatan primordial. 
  3. Nasikun, Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara setruktur memiliki sub-subkebudayaan yang bersifat deverse yang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari satu-kesatuan sosial, serta seringnya muncul konflik-konflik sosial. Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang : 
  • Kesederajatan dalam kedudukan (status sosial) meski berbeda-beda dalam kebudayaan maupun SARA. 
  • Mengakui perbedaan dan kompleksitas dalam masyarakat. 
  •  Menjunjungtinggi unsur kebersamaan, kerja sama, selalu hidup berdampingan dengan damai meski terdapat perbedaan. 
  • Menghargai hak asasi manusia dan toleransi terhadap perbedaan. 
  • Tidak mempersoalkan kelompok minoritas maupun mayoritas. 
       Dari penjelas di atas dapat dikatakan bahwa masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang memahami keberagaman dalam kehidupan di dunia dan menerima adanya keragaman tersebut, seperti: nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Dan bisa dibedakan pula dengan pengertian majemuk yang artinya terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan, plural artinya lebih dari satu, sedangkan beragam artinya berwarna-warni. 


B. Karakteristik Masyarakat Multikultural 
      Pierre L. Va den Berghe seorang sosiolog terkemuka menjelaskan karakteristik masyarakat multikultural dan memprediksikan akibat dari kehidupan sehari-harinya sebagai berikut : 
  1. Terjadi segmentasi ke dalam kelompok sub budaya yang saling berbeda (Primordial).  Masyarakat multikultural yang tersegmentasi dalam kelompok subbudaya saling berbeda merupakan masyarakat yang terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok kecil berdasarkan ras, suku, agama masing-masing dan dalam pergaulan terpisahkan karena individu lebih memilih berinteraksi dengan orang satu suku, ras, atau agamanya saja. Dalam pengertian lain, masyarakat multikultural terlihat hidup bersama meski berbeda ras, agama, dan etnis (tersegmentasi), akan tetapi dalam kesehariannya mereka lebih sering memilih bersahabat atau bergaul dengan orang-orang berasal dari daerah mereka saja karena dianggap lebih mudah berkomunikasi, memiliki ikatan batin yang sama, dan memiliki banyak kesamaan. 
  2. Memiliki struktur yang terbagi ke dalam lembaga non komplementer. Dalam masyarakat multikultural tidak hanya memiliki lembaga formal yang harus ditaati, tetapi mereka juga memiliki lembaga informal (nonkomplementer) yang harus ditaati. Dengan kata lain, mereka lebih taat dan hormat pada lembaga nonkomplementer tersebut karena dipimpin oleh tokoh adat yang secara emosional lebih dekat. 
  3. Kurang mengembangkan konsensus di antara anggota terhadap nilai yang bersifat dasar. Masyarakat multikultural dengan berbagairagam ras, etnik, dan agama menimbulkan perbedaan persepsi, pengalaman, kebiasaan, dan pengetahuan akan mengakibatkan sulitnya mendapatkan kesepakatan terhadap nilai maupun norma yang menjadi dasar pijakan mereka. Singkatnya, masyarakat ini sulit menyatukan pendapat karena perbedaan-perbedaan yang mereka pegang. 
  4. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling tergantung secara ekonomi. Dengan berbagai perbedaan, masyarakat multikultural susah mendapatkan kesepakatan dalam berbagai hal. Dengan itulah, untuk menyatukannya harus ada pemaksaan demi tercapainya integrasi sosial. Selain itu, masyarakat ini saling tergantung secara ekonimi dasebabkan oleh kedekatannya hanya dengan kelompok-kelompok mereka saja. 
  5. Adanya dominasi politik suatu kelompok atas kelompok lain Masyarakat multikultural memiliki kelompok-kelompok berbeda-beda secara ekonomi dan politik. Tak bisa dipungkiri akan terdapat kelompok yang mendominasi politik dan dengan sendirinya kelompok tersebut biasanya memaksakan kebijakan politiknya demi keuntungan kelompoknya sendiri. 
C. Kategori Masyarakat Multikultural 
  1. Masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang.  Masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang yaitu masyarakat yang berada di suatu daerah memiliki kesempatan yang sama dalam hal persaingan politik, ekonomi, maupun kedudukan. Hal ini bisa disebabkan oleh keseimbangan jumlah suku, ras, agama, maupun ketersediaan sumber daya yang ada. 
  2. Masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan.  Masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan yaitu masyarakat yang berdiam di satu tempat tetapi komposisi penduduk berbeda antara ras satu dengan ras lainnya atau suku maupun agama. Sehingga penduduk mayoritas biasanya lebih dominan atau menguasai hal-hal tertentu, mungkin dari segi politik ataupun ekonomi. Dari kondisi ini memungkinkan adanya pemaksaan terhadap masyarakat minoritas untuk mengikuti sistem maupun budaya masyarakat mayoritas. Dan kemungkinan masyarakat minoritas dengan sendirinya mengikut masyarakat mayoritas karena pengaruhnya sangat dominan.
  3. Masyarakat mejemuk dengan minoritas dominan.  Masyarakat mejemuk dengan minoritas dominan yaitu masyarakat minoritas menguasai atau mendominasi kehidupan daerah tersebut, seperti: masyarakat Tiong Hoa minoritas di Indonesia akan tetapi mendominasi ekonomi di Indonesia. 
  4. Masyarakat majemuk dengan fragmentasi.  Masyarakat majemuk dengan fragmentasi yaitu masyarakat yang telah memiliki dominasi berbeda-beda setia segi kehidupannya. Disini masyarakat tidak memiliki dominasi dalam segalanya karena setiap masyarakat tersebut memiliki dominasinya sendiri-sendiri. 
D. Faktor Penyebab Masyarakat Multikultural di Indonesia 
  1. Faktor Sejarah Indonesia. Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah terutama dalam hal rempah-rempah. Sehingga banyak negara-negara asing ingin menjajah seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Dengan demikian mereka tinggal dalam jangka waktu yang lama bahkan ada yang menikah dengan bangsa Indonesia. Kondisi inilah yang menambah kekayaan budaya dan ras yang di Indonesia. 
  2. Faktor Pengaruh Kebudayaan Asing. Globalisasi merupakan proses penting dalam penyebaran budaya dalam masyarakat dunia terutama Indonesia dengan sitem demokrasinya menjadi negara ini merupakan negara yang terbuka. Dengan keterbukaan tersebut, masyarakat mudah menerima budaya yang datang dari luar meski sering terjadi benturan budaya asing dengan budaya lokal. Masuknya budaya asing inilah salah satu faktor memperkaya budaya dan membuat masyarakat menjadi masyarakat multikultural. 
  3. Faktor Geografis. Selain itu negara kaya rempah-rempah, Indonesia juga memiliki letak geografis yang strategis yaitu diantara dua benua dan dua samudra sehingga Indonesia dijadikan sebagai jalur perdagangan internasional. Karena sebagai jalur perdagangan, banyak negara-negara asing datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang seperti Cina, India, Arab, dan negara-negara Eropa. Kondisi inilah memambah budaya yang masuk ke Indonesia dan terciptanya masyarakat multikultural. 
  4. Faktor fisik dan geologi. Kalau dilihat dari struktur geologi Indonesia terletak diantara tigal lempeng yang berbeda yaitu Asia, Australia, dan Pasifik. Kondisi ini menjadikan Indonesia menjadi negara berpulau-pulau dan memiliki beberapa tipe geologi seperti: tipe Asiatis, tipe peralihan, dan tipe Australis. Dengan berpulau-pulau maka kehidupan masyarakat setiap pulau berbeda-beda sesuai dengan kondisi pulauanya. Masyarakat yang berada di pulau kecil akan mengalami kesulitan sumber daya alam, dan pulau besar memiliki sumber daya alam yang banyak. Hal ini lah membuat budaya setiap pulau berbeda pula. 
  5. Faktor Iklim berbeda Selain memiliki berbagai pulau di Indonesia yang mempengaruhi kebudayaan masyarakat, iklim juga sangat mempengaruhi kebudayaan di Indonesia seperti: orang yang berada di daerah pegunungan dengan iklim sejuk membentuk kebudayaan masyarakat yang ramah. Sedangkan orang yang berada di tepi pantai yang memiliki iklim panas membentuk kontrol emosi seseorang lebih cepat marah.

Rabu, 23 Januari 2013

Perombakan Kurikulum 2013


Perombakan Kurikulum 2013
Setelah 6 tahun kurikulum KTSP berjalan dari tahun 2006 hingga 2012, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mulai melalukakan perombakan kurikulum baru pada tahun 2013 ini. Perombakan kurikulum baru terjadi pada jenjang SD, SMP, dan SMA.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim menyatakan bahwa jenjang SD kelas I-III hanya memiliki 6 mata pelajaran saja. Namun, untuk kelas IV-VII SD masih dalam proses penggodokan atau belum final. Berikut 6 mata pelajaran untuk tingkat SD :
1.       Pendidikan Agama
2.       Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
3.       Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
4.       Bahasa Indonesia
5.       Matematika
6.       Seni Budaya
Meski demikian, untuk mata pelajaran seperti IPA dan IPS yang dianggap di hapus, sebenarnya diintegrasikan dengan mata pelajaran yang lain.
Sedangkan untuk jenjang SMP masih tahap perombakan atau belum final, akan tetapi 6 mata pelajaran SD berlaku pada jenjang SMP dan ditambah Bahasa Inggris, IPA, dan IPS. Jadi Mata Pelajaran untuk tingkat SMP sebagai berikut :
1.       Pendidikan Agama
2.       Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
3.       Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
4.       Bahasa Indonesia
5.       Matematika
6.       Seni Budaya
7.       Bahasa Inggris
8.       IPA
9.       IPS
Sementara itu, untuk tingkat SMA, ilmu pengetahuan akan dipecah. Untuk IPA ada Matematika, Fisika, dan Kimia. Sedangkan IPS ada Sosiologi dan Antropologi. Akan tetapi, hal ini belum final karena masih dalam proses perombakan.
Kurikulum 2013 ini, akan mulai disosialisasikan dan diuji publik sebelum bulan Februari 2013 dan akan diberlakukan pada tahun ajaran baru 2013-2014.
Wamen mengatakan, Kurikulum ini akan menitikberatkan pada mata pelajaran yang :
1.       Membentuk Sikap untuk SD
2.       Mengasah Keterampilan untuk SMP
3.       Membangun Pengetahuan untuk SMA
Apakah perubahan kurikulum ini akan memajukan pendidikan Indonesia?
Allahu a’lam bishshowab….

Jumat, 11 Januari 2013

Term Of Reference Ke-Islam-an


A. Abstraksi
Secara epistimologis Islam berarti patuh dan tunduk, sedangkan secara terminologis kita dapat mengambil pengertian bahwa Islam adalah ajaran yang menyuruh kepada pengikutnya agar  patuh dan tunduk atas perintah sang Khaliq. Dari definisi inilah dapat kita tarik pemahaman mengenai Islam dan ajarannya. Jadi, kata Islam memiliki dua konotasi, pertama adalah tunduk dan penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak dan perintah Allah dan kedua, artinya adalah damai. Lagi pula, Islam adalah agama yang ditegakkan oleh Allah s.w.t sendiri. Allah s.w.t mempunyai berbagai fitrat dan salah satunya adalah As-Salam yang berarti pembawa kedamaian. Orang yang beriman kepada Islam disebut Muslim. Definisi dari seorang Muslim adalah seseorang yang sepenuhnya damai dengan dirinya sendiri dan yang mengembangkan kedamaian dalam masyarakat
Islam adalah agama yang damai dan penuh mengajarkan kemanusiaan. Perdamaian adalah jiwa Islam yang telah mengakar sejak agama ini diturunkan ke muka bumi. Islam bukanlah ajaran mengenai kekerasan. Umat Islam perlu meluruskan makna Islam ini dengan memberikan pemahaman baru terhadapnya. Disertai sikap moderatisme dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam dalam konteks masa sekarang ini. Pola pemikiran Islam yang profetis itu diaplikasikan dalam sebuah sikap moderatisme dalam beragama. Sikap ini sangat ditekankan dalam Islam. Sikap moderatisme umat Islam (ummatan wasthan) akan melahirkan kedewasaan dalam beragama sehingga akan sangat objektif dalam menyikapi segala persoalan yang ada dalam realitas sosial. Umat beragama yang lain adalah saudara sendiri dan mereka perlu diperlakukan secara damai dan toleran. Begitupula dengan pandangan inklusif dan pluralis harus terus dikembangkan dan disosialisasikan pada masyarakat Islam secara keseluruhan. serta mendialogkan antara teks dan realitas menurut kerangka berpikir kekinian dan kedisinian
Islam adalah agama kemanusiaan yang bukan hanya khusus bagi umat Islam karena agama ini memang dibawa oleh semua nabi. Hal ini ditegaskan oleh Hassan Hanafi bahwa Islam adalah agama perdamaian yang universal. Menurutnya, secara literal semua nabi terdahulu adalah muslim karena mereka menundukkan kehendaknya di bawah kehendak suci Tuhan. Wahyu yang mereka terima sebenarnya bertalian dalam satu mata rantai yang kemudian dipadukan dan disempurnakan dalam Islam. Jadi, Islam adalah agama yang dibawa setiap nabi untuk semua individu, semua bangsa, dan seluruh umat manusia. Di sinilah kode etik universal perlu diangkat sebagai jaminan atas cita-cita perdamaian dalam Islam, yaitu kesamaan esensi misi mereka dalam upaya menciptakan kemanusiaan dan keadilan di muka bumi. Selain itupula, Islam adalah agama yang dihadirkan ke muka bumi untuk memberikan rahmat dan perdamaian bagi setiap manusia, tanpa membedakan suku, ras, dan agamanya. Substansi yang ingin diperjuangkan Islam adalah bagaimana kemanusiaan dan keadilan itu benar-benar telah ditegakkan di bumi ini.
Sudah saatnya Islam dapat melakukan dialog dengan berbagai rujukan pengetahuan kontemporer dari manapun agar diperoleh pemahaman Islam yang mampu membaca terhadap berbagai kompleksitas persoalan aktual-kekinian, seperti masalah kemanusiaan, keadilan, dan lain sebagainya. Kita perlu mentrasformasikan gagasan pluralisme pemikiran kita dengan melakukan dialektika wacana mengenai hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam semesta, secara kreatif, aktif, dan dinamis. Beragama di samping berorientasi secara vertikal (untuk Tuhan), tapi juga tidak kalah pentingnya memproyeksikan keberagamaan kita untuk manusia dan kemanusiaan (antroposentris). Dan penafsiran agama perlu diarahkan pada pembacaan yang lebih humanistik, pluralistik, dan progresif. Pemahaman teks agama yang kaku, rigid, hitam-putih, dan tektualistik, akan mengarahkan sang pembaca menjadi berpikiran sempit dalam mengamalkan agama sehingga yang terjadi adalah kecenderungan atas tindakan kekerasan, klaim-klaim kebenaran, dan sikap anti-pluralisme. Misalnya, kasus takfir (pengkafiran) dan fatwa hukum mati adalah bentuk kepicikan dalam pemikiran keagamaan model ini.

B. Muatan Materi
  1. Pemahaman tentang konsep  dasar Islam.
2.      Pemahaman konsep tentang Islam Humanis dan toleran.

C. Tujuan dan Target
  1. Peserta dapat memahami hakikat Islam.
  2. peserta mampu memahami Islam pembawa kedamaian
  3. Peserta mampu memahami universalisme Islam (Islam “Rahmatan Lil Alamin”)

D. Metode Penyampaian
Dalam penyampaian materi, diharapkan kepada pemateri memaparkan muatan materi sesuai pengetahuan peserta (pre-test). Kemudian juga dalam penyampaiannya agar disertai contoh atau permisalan yang kongkrit.
Metode lain yang dapat digunakan yakni memberikan beberapa pertanyaan yang merangsang kader untuk berfikir. Diharapkan dengan metode demikian, rasa keingintahuan yang tumbuh dari dalam diri peserta mampu menggali lebih jauh materi. Sehingga terdorong untuk mencari referensi tertulis yang terkait dengan materi.
Dalam upaya menyampaikan materi secara profesional, pemateri dimohon menyertakan makalah, sehingga peserta tidak terlalu kesulitan mengikuti alur materi. Terakhir yaitu pembentukan group yang akan berdinamika dengan kasus yang diberikan oleh masing-masing fasilitator untuk didiskusikan.

 

E.   Alokasi Waktu

     Waktu keseluruhan adalah 60 menit, dengan rincian:
1.      30 menit untuk ceramah dari pemateri.
2.      30 menit selanjutnya digunakan untuk dialog dan tanya jawab peserta.

F. Ketentuan Pembuatan Makalah
Untuk mempermudah pemahaman dan komunikasi seluruh peserta Pelatihan Da’i Mahasiswa (PDM), maka dengan hormat kami memohon kepada pembicara untuk menyertakan makalah pengantar dalam kisaran 3-6 halaman kuarto spasi 1,5. makalah di serahkan sebelum acara PDM dilaksanakan.



Minggu, 16 Desember 2012

Membongkar universalitas tujuan negara, kekuasaan, dan tujuan berdirinya lembaga-lembaga negara.



A.    Negara dan Kekuasaan
Negara merupakan wadah untuk menyatukan kepentingan manusia secara universal. Kepentingan universal manusia itu tertuang pada kesamaan hak dan kewajiban manusia untuk melaksanakan praktik keadilan berdimensi sosial. Hal demikian terlepas dari kemampuan individu untuk meraup hak yang lebih khusus, misalnya; jabatan, intelektualitas, dan materi. Meski hal ini merupakan konsekuensi logis dari keahlian dan kreativitas personal. Dengan itulah negara sebagai institusi tertinggi yang diorganisir oleh sekelompok orang untuk tujuan bersama, sedangkan pejabat pemerintah hanya sebagai individu-individu yang mengkonsep tujuan negara dan akan berdampak pada keseluruhan individu yang berada di dalamnya. Untuk itulah dibutuhkan individu-individu yang bijaksana di dalam lembaga pemerintahan upaya meminimalisir kepentingan individualistis.
Akan tetapi, kenyataan yang ada dalam sebuah negara, kepentingan-kepentingan itu kerapkali bersifat individualistik dan pada akhirnya mengarah pada penindasan. Hal tersebut terjadi akibat dari kerakusan seseorang terhadap materi terutama mereka yang memegang kewenangan atau kekuasaan dalam sebuah lembaga. Hubungan antara kepentingan umum dan pribadi dalam negara, oleh Thomas Hobbes digambarkan sebagai berikut “negara adalah lembaga yang mewakili dari kepentingan umum atau publik, sedangkan masyarakat hanya mewakili kepentingan pribadi atau kelompok secara terpisah-pisah.
Namun dalam perjalannya, para elit bangsa yang berada dalam genggaman kekuasaan mengoperasikan sistem negara dengan tujuan personal dalam bentuk laten.  Kondisi seperti ini merupakan dampak dari pemahaman manusia tentang negara sangat sempit, sehingga tak heran bahwa terdapat makna negara yang terlupakan. Negara hanya dibatasi pada permasalahan kelas dan struktural, di mana terdapat kelas penguasa dan rakyat jelata. Sedangkan substansi negara untuk melindungi rakyat mengalami kesalahan yang sangat fatal dan pada akhirnya berdampak pada tujuan negara. Maka, negara sebagai wakil rakyat sangat sering terimplementasikan dalam bentuk temporal karena rakyat bagi negara dimaknai sekedar rakyat dari kalangan mereka sendiri.
Tak bisa dipungkiri bahwa, tujuan universal negara telah dipersempit oleh mereka yang memiliki tujuan berbeda. Negara bagi mereka hanya dipahami sebagai instrumen untuk meraup materi dan memperkaya diri-sendiri. Sedangkan kekuasaan dibatasi dalam artian sempit yaitu sebagai peletakan ideologi untuk mempraktikkan ketidakadilan. Dengan pengertian lain kekuasaan dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang kekuasaan, baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa. Dengan itulah kekuasaan kerapkali disamakan dengan kekuatan fisik untuk menindas kaum lemah. Konsep negara dan kekuasaan saat ini sangat erat kaitannya dengan mitos-mitos yang mengkerdilkan manusia. Karena konsep negara dan kekuasaan telah tercerabut dari makna sebenarnya. Tentu saja, apa yang terlupakan dari konsep negara dan kekuasaan semacam itu, dan ancaman terbesar yang ditimbulkannya adalah kesengsaraan, ketidakmanusiaan, dan kehinaan. Tesis demikian diperkuat oleh Weber yang menyatakan bahwa negara merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya.
Kalau ditelusuri lebih lanjut, titik permasalahan tersebut terdapat pada sistem negara dan paradigma para penguasa. Sistem yang selama ini masih mengandung nepotisme, yakni kualifikasi dalam perekrutan pejabat negara melalui perpartaian dan material. Begitu juga halnya dalam perekrutan anggota maupun pemilihan ketua partai berlandaskan pada materi. Sehingga dalam kualifikasi tersebut hanya mengutamakan kemampuan material bukan kemampuan intelektualitas baik secara teknis maupun politis dan komitmen seseorang untuk melayani serta memperbaiki negara. Alih-alih, negara hanya dimiliki dan dinikmati oleh mereka yang memiliki materi semata. Hal demikian diperparah oleh paradigma para penguasa negara yang bersifat positifistik dan materialistik. Di mana para penguasa memaknai negara, kekuasaan dan segala bentuk aktivitasnya hanya sebatas material saja. Jadi, apapun yang dilakukannya harus memiliki imbalan materi yang lebih, meski sebenarnya apa yang ia dapatkan telah melimpah dibandingkan pendapatan rakyat.
Selain itu, negara kerapkali dimaknai sebagai institusi dan mesin raksasa yang memiliki kekuasaan penuh. Sehingga masyarakat hanya sebagai robot-robot yang harus menjalankan segala peraturan-peraturan yang dibuat oleh negara. Di sini terlihat ada kecenderungan masyarakat sebagai pelayan negara, padahal sebenarnya negaralah sebagai pelayan bagi kehendak masyarakat. Kesalahpamahaman fungsi negara ini berdampak pada kreativitas anak bangsa dalam menciptakan pelbagai karya. Begitu juga dengan halnya politik rakyatnya, akan terhenti dan tidak mengalami kemajuan. Politik rakyat yang direfresentasikan dalam bentuk aksi atau demonstrasi pun dimaknai sebagai gerakan yang akan mengganggu stabilitas politik dan memperlambat kelangsungan program pemerintah. Sehingga pada persoalan ini tidak menemukan adanya titik temu antara kekuasan rakyat (People Power) dan kekuasaan negara (State Power).

B.     Tujuan Berdirinya Lembaga-Lembaga Negara
Kalau kita melihat kebelakang, maka secara historis konsep kekuasaan negara telah lama diperbincangkan oleh para ahli tatanegara, mulai dari Montesquei hingga Jhon Locke. Para ahli tatanegara itu membagi kekuasaan negara dalam tiga bentuk yaitu : Legeslatif, Yudikatif dan Eksekutif. Tujuan tokoh tersebut, tidak lain hanya untuk menyeimbangkan antara kepentingan rakyat dan lembaga-lembaga dalam negara.  Dalam arti lain, masyarakat maupun negara dapat saling mengontrol kinerja dari masing-masing lembaga, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan.
Dalam kaitan ini, John Locke dan Montesquieu membagi konsep tentang kekuasaan negara dengan tujuan agar terjauhnya ketimpangan antara kekuasaan negara sebagai representasi kepentingan umum dengan masyarakat yang memiliki kepentingan khusus. Namun negara selalu diartikan sebagai representasi dari kepentingan rakyat atau kekayaan rakyat. Dalam kata lain, para pejabat negara adalah representasi dari rakyat, mereka harus memiliki harta berlimpah dan rakyat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk itu, karena sudah diwakili oleh para pejabat negara. Dengan adanya fenomena seperti ini, maka John Locke berpendapat bahwa kegiatan negara setidaknya bersumber dari tiga kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). Ketiga lembaga tersebut memiliki fungsi sebagai instrumen rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya.
Lain halnya dengan Montesquieu yang menyatakan bahwa seharusnya kekuasaan negara dipisahkan dalam tiga lembaga, yakni lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dapat diartikan bahwa fungsi ketiga lembaga tersebut memiliki arena tersendiri, legislatif sebagai lembaga pembuat kebijakan atau undang-undang (UU) yang nyata bukan abstrak dan memihak pada rakyat serta negara dijadikan sebagai pelayanan publik, eksekutif sebagai pelaksana kebijakan yang sesuai dengan ketetapan undang-undang dan sesuai dengan keinginan rakyat, serta yudikatif sebagai penegak hukum dari segala bentuk kegiatan yang menyeleweng dari undang-undang negara.
Akan tetapi, sesungguhnya negara Indonesia tidak menganut ajaran Trias Politika sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan. Karena bisa dilihat dari UUD 1945 yang hanya mengenal sistem pembagian kekuasaan. Ini dibuktikan dengan adanya pembagian fungsi lembaga-lembaga pemerintahan seperti Legislatif, Eksekutif, dan Legislatif. karena di Indonesia istilah-istilah itu sekedar memberikan penjelasan dan perbandingan semata mengenai sistem ketatanegaraan yang sesungguhnya diikuti oleh UUD 1945. Karena dalam aplikasinya masih jauh dari keterkaitan antar fungsi lembaga-lembaga tersebut, malah terlihat adanya kontradiksi antar sesama lembaga, dalam artian antara satu lembaga terhadap lembaga lain menaruh kecurigaan dan saling memponis. Padahal fungsi lembaga tersebut merupakan satu-kesatuan yang utuh untuk saling mengontrol dan melengkapi. 

Menyusun Best Practices

  LK 3.1 Menyusun Best Practices   Menyusun Cerita Praktik Baik (Best Practice) Menggunakan Metode Star (Situasi, Tantangan, Aksi...