Desa Mazina, sebuah desa kecil yang terletak dekat Masyhad di Timur laut Khurasan, negeri Iran, tercatat sebagai desa yang bersejarah dalam revolusi Iran. Karena di desa ini lahir seorang intelektual revolusioner yaitu Ali Syari’ati, tepatnya pada tanggal 24 November 1933. Ali Syari’ati adalah buah hati pertama dan anak laki-laki satu-satunya dari pasangan Sayyid Muhammad Taqi Syari’ati dengan Putri Zahra. Dan Ali Syari’ati memiliki tiga saudara perempuan, yaitu Tehereh, Tayebeh, dan Batul (Afsaneh).
Sayyid Muhammad Taqi Syari’ati adalah ayah sekalian guru Ali Syari’ati yang secara ekonomi termasuk golongan menengah kebawah dan bekerja di lebih satu institusi pendidikan. Sedangkan ibunya seorang dari keluarga pemilik tanah pertanian yang sangat kecil. Kedua orang tuanya adalah orang yang salih, suka membantu, disegani masyarakat, dan selalu menjalankan ritual-ritual keagamaan dengan seksama. Keluarganya menganggap bahwa Islam merupakan doktrin sosial dan ideologi yang mampu mengubah kondisi sosial yang ada, bukan sebagai kumpulan tradisi-tradisi lama semata. Dengan latar belakang keluarga seperti inilah, Syari’ati membentuk pola pikir, intelektualitas, karakter, dan jati dirinya.
Pada tahun 1941, yakni ketika Ali Syari’ati berusia 8 tahun, ia mulai memasuki dunia pendidikan pada tingkat dasar tempat ayahnya mengajar, yakni sekolah swasta Ibn Yamin atau tepatnya disebut Ibn-e Yamin Primary School. Di usia relatif muda ini, Syari’ati tidak seperti anak kecil lainnya yang senang bermain-main bersama teman-teman sekolah maupun sekeliling desa yang seusia dengannya. Ia termasuk dalam kategori seorang pendiam, tidak banyak bergaul, dan tidak mau diatur. Akan tetapi, Syari’ati rajin membaca buku bersama ayahnya hingga larut malam, bahkan hingga menjelang pagi. Buku yang dibaca selalu tidak berkaitan dengan pelajaran yang diwajibkan di sekolahnya. Dia jarang sekali bahkan tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah dari gurunya.
Tahun 1947, Ali Syari’ati menyelesaikan studinya pada tingkat dasar. Saat yang bersamaan, ia memasuki sekolah menegah firdausi (Firdowsi Secondary School). Pada masa ini, Syari’ati masih memiliki sifat pemalas, akan tetapi terdapat beberapa sifat yang berbeda ketika ia masih duduk di sekolah dasar. Ia lebih dikenal seorang anak yang unik karena ia bisa membuat teman-temannya tertawa, mampu bersosialisasi, kalem, bijaksana yang kecerdasannya mampu memecahkan kesunyian dan mengacaukan kelas, dan tak terhindari bahwa Syari’ati sering membuat marah guru-gurunya, sehingga sangat menyenangkan untuk dijadikan teman. Pada usia muda ini, Syari’ati juga sangat aktif terlibat dalam berbagai gerakan dan organisasi. Tahun 1940-an ia sudah turut dalam “gerakan Sosialis Penyembanh Tuhan” dan “Pusat Pengembangan Dakwah Islam” yang didirikan oleh ayahnya.
Ali Syari’ati telah sukses menyelesaikan tanggung jawabnya di bangku sekolah menengah atas dan dinyatakan lulus pada tahun 1950. Dan diperkirakan pada tahun 1946-1950, Syari’ati mengalami krisis kepribadian dan kegoncangan dalam keyakinan keagamaannya hingga fondasinya. Ini merupakan akibat dari buku yang dibacanya tentang filsafat barat mulai yang bersifat nihilitas , simbolistis, hingga atheis. Salah satu filsafat yang mempengaruhi pemikiran dan membentuk karakternya adalah filsafat maeterlinck.
Pada tahun 1950, Ali Syari’ati mengikuti ujian masuk di Kolese Pendidikan Guru (Teacher Training College) di Mashad atas permintaan ayahnya. Di institusi tersebut, Syari’ati memiliki empat teman seperjuangan semasa sekolahnya yang bernama Akbar Safavieh, Gholam-Hossein Danesytalab, Nasrollah Davudi dan Kazem Rajvi. Pada usia itulah dia memeulai kariernya sebagai penulis, dengan karya-karyanya antara lain “pendidikan Tengah” (maktab-e Wasita), mengenai filsafat sejarah . Dan sebelum ia masuk ke Universiats, dia sudah menerjemahkan buku-buku berbahasa asing. Berkat kelancaran lisan, ketajaman tulisan, dan kemahirannya dalam bahasa Arab dan Perancis, ia mampu menerjemahkan buku tentang Abu Dzarr Al-Ghaffari dari bahasa Arab dan sebuah buku tentang Do’a dari bahasa Perancis. Dalam jangka waktu singkat, Syari’ati mampu lulus dari Institusi Keguruan tersebut tahun 1952.
Tanggal 15 September 1955 di Mashad berdiri Universitas Mashad, disinilah Ali Syari’ati melanjutkan pendidikannya, tepatnya di Fakultas Sastra. Di universitas ini juga, Syari’ati mengembangkan bakat sastranya, sehingga ia menjadi seorang yang populer atas keilmuan yang ditekuni. Selain sebagai mahasiswa di Mashad, dia juga masih menyandang profesi sebagai guru. Sebagai mahasiswa yang progresif dan massif, ia selalu menunjukkan perberbedaan pendapat dengan guru-gurunya, sehingga memicunya untuk lebih mengembangkan jalan pikirannya melalui buku-buku dan berdiskusi dengan orang-orang disekelilingnya. Dengan menyelami beberapa ilmu, merenung, meneliti, dan berdiskusi, Syari’ati termasuk dalam salah satu orang yang mendapatkan prestasi akademiknya, dengan itulah ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya di Sorbone University Paris, Perancis.
Kota Paris merupakan salah satu saksi atas kepiawaian Ali Syari’ati terhadap ilmu yang dia cari dan kota ini sangat berperan dalam mempengaruhi pemikirannya, karena dikota tersebut ia menemukan hal-hal yang relatif baru dan terdapat perbedaan signifikan antara ilmu yang ia dapatkan di Iran yang berasaskan Islam sedangkan di Paris ia menemukan nilai yang berbeda. Syari’ati mulai menelaah buku-buku yang tidak terdapat dan belum pernah diperolehnya di Iran dan kalaupun ada, sering sekali tidak orisinil lagi. Di perkaya dengan kemampuannya dalam berbagai bahasa, sehingga mempermudah untuk memahami buku-buku berbahasa lain. Dia juga berkenalan dengan berbagai aliran pemikiran, baik bidang filsafat maupun sosial, sekaligus mendapat kesempatan untuk bisa bertemu dengan tokoh-tokoh dunia, para sosiolog, filosof, cendekiawan serta penulis terkemuka.
Di Parislah, Ali Syari’ati sangat tertarik dan secara formal mempelajari studi-studi Islam dan Sosiologi. Dengan pemahamannya tentang sosiologi dan Islam serta pandangan sosialnya yang menggabungkan ide dan aksi, dia terus berusaha menafsirkan dan menganalisa kenyataan-kenyataan kehidupan rakyat yang tertindas. Bergitu pula dengan pemahamannya tentang humanisme di Iran berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis berbeda dengan humanisme di Barat yang lebih dekat dengan humanisme yang dibangun berasaskan materi. Maka Syari’ati menemukan Abu Dzarr versi Barat.
Setelah lama bergelut dalam dunia pendidikan dan gerakan, akhirnya terbukalah hatinya untuk memenuhi sunah Rosulullah SAW, yaitu untuk menikahi Pouran-e Syari’ati Razavi, anak dari Haji Ali Akbar dan Pari, tepatnya pada tanggal 15 Juli 1958. Pernikahan inilah awal dari kebahagian dan menjadi motivasi tertentu hingga dia berhasil meraih gelar Sarjana Muda dalam ilmu bahasa Arab dan Perancis. Begitu juga dengan bertambah semangatnya dalam menimba ilmu serta membela kaum tertindas. Dengan kelahiran anaknya yang bernama Ehsan, Ali Syari’ati tidak putus semangat untuk menimba ilmu di negeri tetangga. Terbukti dengan kepergiannya ke Paris untuk melanjutkan pendidikan tingginya ke universitas Sorbonne, Perancis, tepatnya pada bulan April 1959. Hingga tahun 1963, ia mempertahankan tesis doktoralnya dan kembali ke negri asalnya pada bulan September 1964.
Sebelum kematiannya, pada tahun 1975-1977, Ali Syari’ati menjalani hukuman penjara rumah, akan tetapi dengan jiwa revolusionernya, ia pergi untuk membebaskan diri menuju Inggris pada bulan Mei 1977. Akhirnya pada tanggal 19 Juni 1977, Syari’ati, seorang cendekiawan Iran kontemporer, gugur di rumah sewaannya tepatnya di Southampton, Inggris, akibat dibunuh oleh agen rahasia rezim Shah Pahlevi. Namun berita resmi hanya menyatakan bahwa ia terkena serangan jantung, akan tetapi kebanyakan orang percaya bahwa ia diracuni oleh agen rahasia pemerintah Iran. Pada tanggal 26 Juni 1977, jenazah Syari’ati diterbangkan ke Damaskus, Suriah dan dikebumikan dekat kuburan Zainab, saudari Imam Husain.