A.
Negara dan
Kekuasaan
Negara merupakan
wadah untuk menyatukan kepentingan manusia secara universal. Kepentingan
universal manusia itu tertuang pada kesamaan hak dan kewajiban manusia untuk
melaksanakan praktik keadilan berdimensi sosial. Hal demikian terlepas dari
kemampuan individu untuk meraup hak yang lebih khusus, misalnya; jabatan,
intelektualitas, dan materi. Meski hal ini merupakan konsekuensi logis dari
keahlian dan kreativitas personal. Dengan itulah negara sebagai institusi
tertinggi yang diorganisir oleh sekelompok orang untuk tujuan bersama,
sedangkan pejabat pemerintah hanya sebagai individu-individu yang mengkonsep
tujuan negara dan akan berdampak pada keseluruhan individu yang berada di dalamnya.
Untuk itulah dibutuhkan individu-individu yang bijaksana di dalam lembaga
pemerintahan upaya meminimalisir kepentingan individualistis.
Akan tetapi, kenyataan
yang ada dalam sebuah negara, kepentingan-kepentingan itu kerapkali bersifat
individualistik dan pada akhirnya mengarah pada penindasan. Hal tersebut
terjadi akibat dari kerakusan seseorang terhadap materi terutama mereka yang
memegang kewenangan atau kekuasaan dalam sebuah lembaga. Hubungan antara
kepentingan umum dan pribadi dalam negara, oleh Thomas Hobbes digambarkan sebagai
berikut “negara adalah lembaga yang mewakili dari kepentingan umum atau publik,
sedangkan masyarakat hanya mewakili kepentingan pribadi atau kelompok secara terpisah-pisah.
Namun dalam
perjalannya, para elit bangsa yang berada dalam genggaman kekuasaan
mengoperasikan sistem negara dengan tujuan personal dalam bentuk laten. Kondisi seperti ini merupakan dampak dari
pemahaman manusia tentang negara sangat sempit, sehingga tak heran bahwa
terdapat makna negara yang terlupakan. Negara hanya dibatasi pada permasalahan kelas
dan struktural, di mana terdapat kelas penguasa dan rakyat jelata. Sedangkan
substansi negara untuk melindungi rakyat mengalami kesalahan yang sangat fatal
dan pada akhirnya berdampak pada tujuan negara. Maka, negara sebagai wakil rakyat
sangat sering terimplementasikan dalam bentuk temporal karena rakyat bagi
negara dimaknai sekedar rakyat dari kalangan mereka sendiri.
Tak bisa
dipungkiri bahwa, tujuan universal negara telah dipersempit oleh mereka yang memiliki
tujuan berbeda. Negara bagi mereka hanya dipahami sebagai instrumen untuk
meraup materi dan memperkaya diri-sendiri. Sedangkan kekuasaan dibatasi dalam
artian sempit yaitu sebagai peletakan ideologi untuk mempraktikkan
ketidakadilan. Dengan pengertian lain kekuasaan dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi pihak lain agar
mengikuti kehendak pemegang kekuasaan, baik dengan sukarela maupun dengan
terpaksa. Dengan itulah kekuasaan kerapkali disamakan dengan kekuatan fisik
untuk menindas kaum lemah. Konsep negara dan kekuasaan saat ini sangat
erat kaitannya dengan mitos-mitos yang mengkerdilkan manusia. Karena konsep
negara dan kekuasaan telah tercerabut dari makna sebenarnya. Tentu saja, apa
yang terlupakan dari konsep negara dan kekuasaan semacam itu, dan ancaman
terbesar yang ditimbulkannya adalah kesengsaraan, ketidakmanusiaan, dan
kehinaan. Tesis demikian diperkuat oleh Weber yang menyatakan bahwa negara
merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan
kekerasan terhadap warganya.
Kalau
ditelusuri lebih lanjut, titik permasalahan tersebut terdapat pada sistem
negara dan paradigma para penguasa. Sistem yang selama ini masih mengandung
nepotisme, yakni kualifikasi dalam perekrutan pejabat negara melalui
perpartaian dan material. Begitu juga halnya dalam perekrutan anggota maupun
pemilihan ketua partai berlandaskan pada materi. Sehingga dalam kualifikasi
tersebut hanya mengutamakan kemampuan material bukan kemampuan intelektualitas baik
secara teknis maupun politis dan komitmen seseorang untuk melayani serta
memperbaiki negara. Alih-alih, negara hanya dimiliki dan dinikmati oleh mereka
yang memiliki materi semata. Hal demikian diperparah oleh paradigma para
penguasa negara yang bersifat positifistik dan materialistik. Di mana para
penguasa memaknai negara, kekuasaan dan segala bentuk aktivitasnya hanya
sebatas material saja. Jadi, apapun yang dilakukannya harus memiliki imbalan materi
yang lebih, meski sebenarnya apa yang ia dapatkan telah melimpah dibandingkan
pendapatan rakyat.
Selain itu,
negara kerapkali dimaknai sebagai institusi dan mesin raksasa yang memiliki
kekuasaan penuh. Sehingga masyarakat hanya sebagai robot-robot yang harus
menjalankan segala peraturan-peraturan yang dibuat oleh negara. Di sini
terlihat ada kecenderungan masyarakat sebagai pelayan negara, padahal sebenarnya
negaralah sebagai pelayan bagi kehendak masyarakat. Kesalahpamahaman fungsi
negara ini berdampak pada kreativitas anak bangsa dalam menciptakan pelbagai
karya. Begitu juga dengan halnya politik rakyatnya, akan terhenti dan tidak
mengalami kemajuan. Politik rakyat yang direfresentasikan dalam bentuk aksi
atau demonstrasi pun dimaknai sebagai gerakan yang akan mengganggu stabilitas
politik dan memperlambat kelangsungan program pemerintah. Sehingga pada
persoalan ini tidak menemukan adanya titik temu antara kekuasan rakyat (People
Power) dan kekuasaan negara (State Power).
B.
Tujuan
Berdirinya Lembaga-Lembaga Negara
Kalau kita
melihat kebelakang, maka secara historis konsep kekuasaan negara telah lama
diperbincangkan oleh para ahli tatanegara, mulai dari Montesquei hingga Jhon
Locke. Para ahli tatanegara itu membagi kekuasaan negara dalam tiga bentuk yaitu
: Legeslatif, Yudikatif dan Eksekutif. Tujuan tokoh tersebut, tidak lain hanya untuk
menyeimbangkan antara kepentingan rakyat dan lembaga-lembaga dalam negara. Dalam arti lain, masyarakat maupun negara
dapat saling mengontrol kinerja dari masing-masing lembaga, sehingga roda
pemerintahan berjalan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan.
Dalam kaitan
ini, John Locke dan Montesquieu membagi konsep
tentang kekuasaan negara dengan tujuan agar terjauhnya ketimpangan antara
kekuasaan negara sebagai representasi kepentingan umum dengan masyarakat yang
memiliki kepentingan khusus. Namun negara selalu diartikan sebagai representasi
dari kepentingan rakyat atau kekayaan rakyat. Dalam kata lain, para pejabat
negara adalah representasi dari rakyat, mereka harus memiliki harta berlimpah
dan rakyat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk itu, karena sudah diwakili
oleh para pejabat negara. Dengan adanya fenomena seperti ini, maka John Locke berpendapat
bahwa kegiatan negara setidaknya bersumber dari tiga kekuasaan negara, yaitu
kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan
eksekutif (executive
power), dan kekuasaan federatif (federative power). Ketiga lembaga
tersebut memiliki fungsi sebagai instrumen rakyat untuk menyampaikan aspirasi
dan kepentingannya.
Lain
halnya dengan Montesquieu yang menyatakan bahwa seharusnya kekuasaan negara dipisahkan
dalam tiga lembaga, yakni lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dapat
diartikan bahwa fungsi ketiga lembaga tersebut memiliki arena tersendiri,
legislatif sebagai lembaga pembuat kebijakan atau undang-undang (UU) yang nyata
bukan abstrak dan memihak pada rakyat serta negara dijadikan sebagai pelayanan
publik, eksekutif sebagai pelaksana kebijakan yang sesuai dengan ketetapan
undang-undang dan sesuai dengan keinginan rakyat, serta yudikatif sebagai
penegak hukum dari segala bentuk kegiatan yang menyeleweng dari undang-undang
negara.
Akan tetapi, sesungguhnya negara Indonesia tidak
menganut
ajaran Trias Politika sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu yang
menghendaki adanya pemisahan kekuasaan. Karena bisa dilihat dari UUD 1945 yang
hanya mengenal sistem pembagian kekuasaan. Ini dibuktikan dengan adanya
pembagian fungsi lembaga-lembaga pemerintahan seperti Legislatif, Eksekutif,
dan Legislatif. karena di Indonesia istilah-istilah itu sekedar memberikan
penjelasan dan perbandingan semata mengenai sistem ketatanegaraan yang
sesungguhnya diikuti oleh UUD 1945. Karena dalam aplikasinya masih jauh dari
keterkaitan antar fungsi lembaga-lembaga tersebut, malah terlihat adanya
kontradiksi antar sesama lembaga, dalam artian antara satu lembaga terhadap
lembaga lain menaruh kecurigaan dan saling memponis. Padahal fungsi lembaga
tersebut merupakan satu-kesatuan yang utuh untuk saling mengontrol dan
melengkapi.