Sebagian orang mendengar kata belajar
langsung mengerutkan wajah, hal ini petanda bahwa belajar adalah kegiatan yang
membosankan. Bisa dikarenakan siswa belum memahami arti penting pendidikan atau
karena guru yang tidak mampu menjadi pendidik yang baik. Siswa yang belum
memahami arti pendidikan lebih cenderung dikarenakan ia belum melihat jelas
atau merasakan manfaat secara langsung dari ilmu yang ia dapatkan. Akan tetapi
sangat ironis ketika guru (pendidik) menjadi faktor utama pembentuk siswa
menjadi seperti itu.
Yang paling sering kita temui di dunia
pendidikan ialah seorang pendidik selalu monoton dalam pemberian ilmu dan hanya
melakukan transformasi sesuai tuntutan
kerja saja.Tugas guru hanya dimaknai sebagai pemberi ilmu dan
mendapatkan gaji semata sedangkan siswa menerima ilmu tersebut tanpa penyerapan.
Guru dianggap sesosok orang yang selalu benar dan siswa tidak memiliki
pengetahuan tentang itu. Kenyataan ini sungguh memprihatinkan dunia pendidikan
kita karena proses yang dialami hanya sekedar transformasi ilmu belaka.
Kenyataan ini dinyatakan Paulo Freire sebagai pendidikan konvensional yakni
pendidkan seperti sebuah bank, dimana peserta didik adalah tabungannya
sementara guru adalah si penabung. Tabungan (siswa) tidak pernah komplain diisi
berapapun jumlah uang bahkan tidak diisipun samasekalipun diam dan patuh.
Seperti inilah acapkali kita temui yakni siswa diposisikan oleh gurunya sebagai
objek mati. Terkadang siswa diibaratkan seperti robot yang diciptakan oleh
dunia pendidikan untuk memenuhi tuntutan pasar global. Mereka ditempah sesuai
pesanan dunia industri bukan diciptakan untuk menciptakan pengetahuan yang
mandiri. Yang paling menyedihkan terdapat beberapa guru yang tidak mengerti
kondisi seperti ini sehingga ia harus menciptakan anak yang telah dituntut oleh
dunia industry tersebut. Kata yang paling tetap untuk mengatakan kepada para
pendidik (guru) adalah “Membiarkan siswa dalam kodisi ketertinggalan adalah
bagian dari pembodohan. Dengan demikian guru seharusnya mampu menfasilitasi
peserta didik (siswa) hingga mampu mengerti, memahami masalah sosial mereka dan
juga mampu menjadi bagian dari solusi”.
Untuk mengentas beberapa masalah
tersebut Mansour Faqih memberi beberapa pandangan tentang pendidikan dan
mengembangkan model pendidikan di Indonesia yang dibantu oleh Roem
Topatimasang, Toto Rahardjo dan masih banyak yang lainnya. Terlihat jelas dalam
buku 'Pendidikan Popular Membangun Kesadara Kritis', yang menjelaskan
bahwa terdapat dua teori pendidikan secara umum yitu teori reproduksi dan teori
produksi. Pertama, teori reproduksi
memaknai pendidikan sebagai alat dominasi yang selalu digunakan demi
melangengkan atau melegitimasi dominasi tersebut. Contohnya, andaikata
pemerintah memiliki agenda industrialisasi maka pendidikan
harus mensukseskannya dengan programlink and match agar lulusanya
bisa bekerja di pabrik-pabrik yang sudah disediakan negara. Tetapi terkadang
program industrialisasi tidak didukung dengan banyaknya lapangan kerja di
industry tersebut. Kedua, teori
produksi yang memandang pendidikan sebagai model pendidikan yang bertujuan
untuk membangun kesadaran kritis yakni kesadaran anak didik yang ditindas oleh
negara, model pendidikan yang kedua inilah akar dari pendidikan kritis.
Model
pendidikan kritis ini memang jelas mengkritik paktek pendidikan konvensional
yang cenderung menindas peserta didik.
"Beberapa
pemahaman tentang guru dan siswa dalam dunia pendidikan:
1.
Guru mengajar dan siswa belajar
2.
Guru mahatahu dan siswa sedikit
pengetahuannya
3.
Guru memiliki pemikiran dan siswa
mengikuti pemikiran tersebut
4.
Guru berbicara dan siswa hanya
mendengarkan
5.
Guru seslalu disiplin dan siswa tidak
disiplin
6.
Guru bebas berpendapat dan siswa tidak
boleh berpendapat lain
7.
Guru mencoba kemampuannya dan siswa
tempat percobaan kemampuannya
8.
Guru bebas mengajarkan apa saja dan
siswa harus mengikutinya
9.
Guru merasa sudah banyak makan garam
pendidikan dan siswa belum punya pengalaman
10. Guru
ujung tombak proses pembelajaran dan siswa sebagai pengikut dalam pembelajaran
Selain
itu ada beberapa hal yang sering terjadi dalam dunia pendidkanyaitu:
1.
Hubungan kepala sekolah dan guru selalu
struktural
2.
Kepala sekolah banyak intruksi bukan
komunikasi
3.
Guru dibebankan administrasi yang
melimpah-ruah
4.
Guru mengajar dengan satu metode saja,
sebut saja metode ceramah
5.
Guru mengajar hanya untuk mendapatkan
uang
6.
Siswa tidak tahu manfaat ilmu
pengetahuan
7.
Tuntutan ekonomi membuat siswa harus
membelah konsentrasi
8.
Beban Sosial siswa selalu dibawa
kesekolah
9.
Mata pelajaran yang begitu banyak
10. Pemerintah
kurang blusukan kesekolah-sekolah
Kondisi diatas acapkali kita temui di beberapa
lembaga pendidikan formal. Kita bisa membayangkan bagaimana model pendidikan diatas
kerapkali dipraktikkan buat anak
generasi bangsa kita. Pendidikan seperti ini bukan mendidik siswa tapi justru
membungkam kreaktifitas dan kemampuan mereka. Kalau dipikirkan, sudah berapa
banyak dana yang habis untuk peserta didik kita akan tetapi hasilnya tidak
maksimal. Dengan demikian pendidikan yang kita harapkan adalah sebuah
pendidikan yang membangun akan daya kesadaran kritis peserta didik, atau
dikenal dengan pendidikan konsientisasi.
Dalam dunia pendidikan, makna guru harus
diubah menjadi kata fasilitator karena guru lebih identik dengan kata-kata
diatas. Menurut pendidikan kritis seorang fasilitator memiliki tugas untuk
memfasilitasi peserta didik untuk mengadakan transformasi didalam
masyarakatnya, dari kondisi yang tidak adil menuju ke situasi yang lebih adil.
Bukan untuk mendikte dan membunuh kreatifitas anak. Untuk itu, paradigma pendidk
(fasilitator) harus diubah menjadi pradigma kritis yakni pendidikan harus mampu
menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada siswa maupun dalam masyarakat.
Contoh yang sering terjadi, seorang siswa disuruh mengambil sampah yang mereka
temukan disekitar sekolah dan membuangnya ke tong sampah, dan sampah itu tidak
habis-habis ditemukan, karena mereka tidak paham dan tahu siapa dan kenapa sampah-sampah
itu selalu ada disekitar sekolah. Tetapi kalau pendidikan kritis tidak hanya
mengambil sampah itu saja tapi mereka juga mencari apa, siapa saja, kenapa,
bagaimana fenomena ini bisa terjadi, ada budaya apa dibalik ini, dan
seterusnya.
Selain itu, metode dalam pendidikan
kritis menyarankan menggunakan metode pembelajaran yang demokratis yaitu dari,
oleh dan untuk peserta didik. 'Dari' artinya proses pembelajaran yang terjadi
harus untuk peserta didik dan menghilangkan penindasan baik disadari atau
tidak. 'Oleh' artinya peserta didiklah yang menganalisa masalah yang mereka
hadapi kemudian menyimpulkan dan melakukan aksi untuk merubah dirinya,
difasilitasi oleh fasilitator. Dan 'untuk' artinya proses pembelajaran itu
hanyalah untuk menyelesaikan permasalahan yang meraka miliki. Sehingga pendidikan
kritis mampu menanggapai pertanyaan dan menyelesaikan masalah peserta didik
dibanding mencari kebenaran objektif yang ilmiyah tapi malah tidak dapat
menyelesaikan sistem penindasan tersebut.
Sementara hal lain yang perlu
diperhatikan dalam metode pendidikan kritis diantaranya adanya hubungan yang
horizontal antara fasilitator dengan peserta didik. Artinya adanya dialog dua
arah, inter-komunikasi, yang beimplikasi pada empati, cinta, saling percaya,
dan kritis (shor, 1980) hal ini sangat penting agar tidak ada indoktrinasi
untuk kepentingan pembebasan. Dibawah ini dijelaskan bagaimana metode dan
paradigma mengadakan kolaborasi hingga dapat menyimpulkan apakah implikasinya
berbentuk pembelajaran yang magis, naif atau kritis. Tahap Pertama: Melakukan, tahap Kedua:
Mengungkapkan Data, tahap Ketiga:
Analisa, tahap Keempat: Kesimpulan, tahap
Kelima: Menerapkan.