Jumat, 21 Februari 2014

Pendidikan Kritis menurut Paulo Freire dan Mansour Faqih

Sebagian orang mendengar kata belajar langsung mengerutkan wajah, hal ini petanda bahwa belajar adalah kegiatan yang membosankan. Bisa dikarenakan siswa belum memahami arti penting pendidikan atau karena guru yang tidak mampu menjadi pendidik yang baik. Siswa yang belum memahami arti pendidikan lebih cenderung dikarenakan ia belum melihat jelas atau merasakan manfaat secara langsung dari ilmu yang ia dapatkan. Akan tetapi sangat ironis ketika guru (pendidik) menjadi faktor utama pembentuk siswa menjadi seperti itu.
Yang paling sering kita temui di dunia pendidikan ialah seorang pendidik selalu monoton dalam pemberian ilmu dan hanya melakukan transformasi sesuai tuntutan  kerja saja.Tugas guru hanya dimaknai sebagai pemberi ilmu dan mendapatkan gaji semata sedangkan siswa menerima ilmu tersebut tanpa penyerapan. Guru dianggap sesosok orang yang selalu benar dan siswa tidak memiliki pengetahuan tentang itu. Kenyataan ini sungguh memprihatinkan dunia pendidikan kita karena proses yang dialami hanya sekedar transformasi ilmu belaka.
Kenyataan ini dinyatakan  Paulo Freire  sebagai pendidikan konvensional yakni pendidkan seperti sebuah bank, dimana peserta didik adalah tabungannya sementara guru adalah si penabung. Tabungan (siswa) tidak pernah komplain diisi berapapun jumlah uang bahkan tidak diisipun samasekalipun diam dan patuh. Seperti inilah acapkali kita temui yakni siswa diposisikan oleh gurunya sebagai objek mati. Terkadang siswa diibaratkan seperti robot yang diciptakan oleh dunia pendidikan untuk memenuhi tuntutan pasar global. Mereka ditempah sesuai pesanan dunia industri bukan diciptakan untuk menciptakan pengetahuan yang mandiri. Yang paling menyedihkan terdapat beberapa guru yang tidak mengerti kondisi seperti ini sehingga ia harus menciptakan anak yang telah dituntut oleh dunia industry tersebut. Kata yang paling tetap untuk mengatakan kepada para pendidik (guru) adalah “Membiarkan siswa dalam kodisi ketertinggalan adalah bagian dari pembodohan. Dengan demikian guru seharusnya mampu menfasilitasi peserta didik (siswa) hingga mampu mengerti, memahami masalah sosial mereka dan juga mampu menjadi bagian dari solusi”.
Untuk mengentas beberapa masalah tersebut Mansour Faqih memberi beberapa pandangan tentang pendidikan dan mengembangkan model pendidikan di Indonesia yang dibantu oleh Roem Topatimasang, Toto Rahardjo dan masih banyak yang lainnya. Terlihat jelas dalam buku 'Pendidikan Popular Membangun Kesadara Kritis', yang menjelaskan bahwa terdapat dua teori pendidikan secara umum yitu teori reproduksi dan teori produksi. Pertama, teori reproduksi memaknai pendidikan sebagai alat dominasi yang selalu digunakan demi melangengkan atau melegitimasi dominasi tersebut. Contohnya, andaikata pemerintah  memiliki agenda industrialisasi maka pendidikan harus mensukseskannya dengan programlink and match agar lulusanya bisa bekerja di pabrik-pabrik yang sudah disediakan negara. Tetapi terkadang program industrialisasi tidak didukung dengan banyaknya lapangan kerja di industry tersebut. Kedua, teori produksi yang memandang pendidikan sebagai model pendidikan yang bertujuan untuk membangun kesadaran kritis yakni kesadaran anak didik yang ditindas oleh negara, model pendidikan yang kedua inilah akar dari pendidikan kritis.
Model pendidikan kritis ini memang jelas mengkritik paktek pendidikan konvensional yang cenderung menindas peserta didik.
"Beberapa pemahaman tentang guru dan siswa dalam dunia pendidikan:  
1.      Guru mengajar dan siswa belajar
2.      Guru mahatahu dan siswa sedikit pengetahuannya
3.      Guru memiliki pemikiran dan siswa mengikuti pemikiran tersebut
4.      Guru berbicara dan siswa hanya mendengarkan
5.      Guru seslalu disiplin dan siswa tidak disiplin
6.      Guru bebas berpendapat dan siswa tidak boleh berpendapat lain
7.      Guru mencoba kemampuannya dan siswa tempat percobaan kemampuannya
8.      Guru bebas mengajarkan apa saja dan siswa harus mengikutinya
9.      Guru merasa sudah banyak makan garam pendidikan dan siswa belum punya pengalaman
10.  Guru ujung tombak proses pembelajaran dan siswa sebagai pengikut dalam pembelajaran

Selain itu ada beberapa hal yang sering terjadi dalam dunia pendidkanyaitu:

1.      Hubungan kepala sekolah dan guru selalu struktural
2.      Kepala sekolah banyak intruksi bukan komunikasi
3.      Guru dibebankan administrasi yang melimpah-ruah
4.      Guru mengajar dengan satu metode saja, sebut saja metode ceramah
5.      Guru mengajar hanya untuk mendapatkan uang
6.      Siswa tidak tahu manfaat ilmu pengetahuan
7.      Tuntutan ekonomi membuat siswa harus membelah konsentrasi
8.      Beban Sosial siswa selalu dibawa kesekolah
9.      Mata pelajaran yang begitu banyak
10.  Pemerintah kurang blusukan kesekolah-sekolah

Kondisi diatas acapkali kita temui di beberapa lembaga pendidikan formal. Kita bisa membayangkan bagaimana model pendidikan diatas kerapkali dipraktikkan  buat anak generasi bangsa kita. Pendidikan seperti ini bukan mendidik siswa tapi justru membungkam kreaktifitas dan kemampuan mereka. Kalau dipikirkan, sudah berapa banyak dana yang habis untuk peserta didik kita akan tetapi hasilnya tidak maksimal. Dengan demikian pendidikan yang kita harapkan adalah sebuah pendidikan yang membangun akan daya kesadaran kritis peserta didik, atau dikenal dengan pendidikan konsientisasi.      
Dalam dunia pendidikan, makna guru harus diubah menjadi kata fasilitator karena guru lebih identik dengan kata-kata diatas. Menurut pendidikan kritis seorang fasilitator memiliki tugas untuk memfasilitasi peserta didik untuk mengadakan transformasi didalam masyarakatnya, dari kondisi yang tidak adil menuju ke situasi yang lebih adil. Bukan untuk mendikte dan membunuh kreatifitas anak. Untuk itu, paradigma pendidk (fasilitator) harus diubah menjadi pradigma kritis yakni pendidikan harus mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada siswa maupun dalam masyarakat. Contoh yang sering terjadi, seorang siswa disuruh mengambil sampah yang mereka temukan disekitar sekolah dan membuangnya ke tong sampah, dan sampah itu tidak habis-habis ditemukan, karena mereka tidak paham dan tahu siapa dan kenapa sampah-sampah itu selalu ada disekitar sekolah. Tetapi kalau pendidikan kritis tidak hanya mengambil sampah itu saja tapi mereka juga mencari apa, siapa saja, kenapa, bagaimana fenomena ini bisa terjadi, ada budaya apa dibalik ini, dan seterusnya. 
Selain itu, metode dalam pendidikan kritis menyarankan menggunakan metode pembelajaran yang demokratis yaitu dari, oleh dan untuk peserta didik. 'Dari'  artinya proses pembelajaran yang terjadi harus untuk peserta didik dan menghilangkan penindasan baik disadari atau tidak. 'Oleh' artinya peserta didiklah yang menganalisa masalah yang mereka hadapi kemudian menyimpulkan dan melakukan aksi untuk merubah dirinya, difasilitasi oleh fasilitator. Dan 'untuk' artinya proses pembelajaran itu hanyalah untuk menyelesaikan permasalahan yang meraka miliki. Sehingga pendidikan kritis mampu menanggapai pertanyaan dan menyelesaikan masalah peserta didik dibanding  mencari kebenaran objektif yang ilmiyah tapi malah tidak dapat menyelesaikan sistem penindasan tersebut.
Sementara hal lain yang perlu diperhatikan dalam metode pendidikan kritis diantaranya adanya hubungan yang horizontal antara fasilitator dengan peserta didik. Artinya adanya dialog dua arah, inter-komunikasi, yang beimplikasi pada empati, cinta, saling percaya, dan kritis (shor, 1980) hal ini sangat penting agar tidak ada indoktrinasi untuk kepentingan pembebasan. Dibawah ini dijelaskan bagaimana metode dan paradigma mengadakan kolaborasi hingga dapat menyimpulkan apakah implikasinya berbentuk pembelajaran yang magis, naif atau kritis. Tahap Pertama: Melakukan, tahap Kedua: Mengungkapkan Data, tahap Ketiga: Analisa, tahap Keempat: Kesimpulan, tahap Kelima: Menerapkan.


Minggu, 09 Februari 2014

Perkembangan Sosiologi


Sosiologi lahir pada tahun 1842 atau pada abad ke-19 yang dirintis oleh Auguste Comte (1798-1857) dari Pernacis melalui bukunya “Course de Philosophy Positive". Di dalam buku tersebut ia menjelaskan bahwa untuk mempelajari masyarakat dilihat dari tahapan-tahapan kehidupannya yaitu Teologis, Metafisik, Positifistis. Sehingga dapat dikatakan kajian Sosiologi adalah segala bentuk kehidupan masyarakat dan tahapan-tahapan kehidupannya. Faktor kesungguhannya dalam mempelajari kehidupan masyarakatlah ia disebut sebagai Bapak Sosiologi.
Add caption
Sedangkan Peter L. Berger mengatakan bahwa Sosiologi berkembang ketika masyarakat menghadapi ancaman terhadap hal yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang memang sudah seharusnya demikian, benar, dan nyata (theats to the taken-for-granted world). Tokoh sosiologi berikutnya adalah George Ritzer yang mengatakan bahwa sejumlah hal yang dianggap sebagai pendorong pertumbuhan sosiologi sebagai berikut.
 a. Revolusi Politik tahun 1776 (Amerika Utara merdeka dengan sistem demokratis)
  b. Revolusi Industri abad ke-18, Munculnya Kapitalisme dan Sosialisme
  c.  Urbanisasi besar-besaran
  d.   Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan
  e.    Perubahan di Bidang Keagamaan
Sejumlah ilmuwan menyambut hangat atas hadirnya Sosiologi sebagai ilmu Pengetahuan baru seperti: Herbert Spencer (Inggris), Karl Marx dan Max Weber (Jerman), Pitrim A. Sorokan (Rusia), Vitredo Pareto (Italia), C.H Cooley dan Laster F. Ward (USA), Emile Durkheim (Perancis). Di Indonesia, Sosiologi baru diperkenalkan tahun 1948 oleh Prof. Sunario Kolopaking di UGM. Kemudian disusul oleh tokoh-tokoh lainnya, yaitu Mr. Djody Gondokusumo, Hassan Shadily, MA., Mayor Polak, Satjipto Raharjo, Soerjono Soekanto, Selo Soemardjan, dan sebagainya. Setiap ilmuwan berjasa besar bagi perkembangan sosiologi dengan menyumbangkan beragam pendekatan dalam mempelajari masyarakat yakni sebagai berikut.
a.      Herbert Spencer
Memperkenalakan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatau organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
b.      Karl Marx
Memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang mengganggap konflik anatarkelas social menjadi intisari perubahan dan perkembangan masyarakat.
c.       Emile Durkheim
Memperkenalkan fakta sosial, yang merupakan penelusuran fungsi berbagai elemen sosial sebagai peningkatan sekaligus memelihara keteraturan social.
d.      Max Weber
Memperkenalkan pendekatan tindakan sosial, berupa penelusuran terhadap nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntut perilaku masyarakat.
            Berkat jasa merekalah Sosiologi saat ini menjadi ilmu yang semakin dikenal di dunia, begitupula di Indonesia. Di Indonesia Selo Soemardjan memperkenalkan karya (Sosial Changes in Yogyakarta dan Setangkai Bunga Sosiologi). Berkat karya tersebut Selo Soemardjan dijuluki sebagai Bapak Sosiologi Indonesia.



PENGERTIAN SOSIOLOGI MENURUT PARA AHLI :

1. Pitirim Sorokin
  • Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain
2. Max Weber
  • Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
3. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
  • Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
4. Paul B. Horton
  • Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
5. Soerjono Soekamto
  • Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.

Menyusun Best Practices

  LK 3.1 Menyusun Best Practices   Menyusun Cerita Praktik Baik (Best Practice) Menggunakan Metode Star (Situasi, Tantangan, Aksi...