Kamis, 02 Agustus 2012

Masalah Kaum Intelektual, cendikiawan, ilmuan di Indonesia


Di zaman modern ini, kaum intelektual menjadi sebuah strata yang relatif heterogen dalam posisi  dan tradisi sosialnya, hal demikian merupakan akibat dari polarisasi makna intelektual serta perannya dalam masyarakat. Apakah intelektual sebagai kreator, distributor, atau sebagai motivator serta peran apa yang akan dijalankan di tengah masyarakatnya, apakah ia sebagai penggagas, penentang, atau pelaksana dari sebuah gagasan, atau paling tidak ia adalah pembawa gagasan atau sebuah persoalan. Disisi lain, mereka mulai menemukan jalan buntu dalam perkembangan masyarakatnya akibat dari kebingungan-kebingunan terhadap fungsinya di zaman sekarang ini. Saat yang bersamaan, intelektual negara-negara berkembang sedang berjuang melawan berbagai kesulitan dan kekurangan yang dihadapi mereka serta masyarakatnya. Selain itu, intelektual tersebut sedang mengalami suatu kontradiksi dalam dirinya mengenai kebebasan intelektualnya dengan kepercayaan ideologisnya.
Sementara di Eropa, menurut Eyerman, kaum intelektual mendapat tantangan besar untuk memainkan perannya semaksimal mungkin, semenjak masuknya negara ke dalam sistem kemakmuran abad ke-20 yaitu demokrasi kapitalis, kaum intelektual kemudian terdomestifikasi. Mereka menjadi kekuatan eksternal yang berdiri di luar sistem politik; mereka menjadi akademisi profesional yang merupakan konsekuensi revolusi pendidikan yang terjadi pada era 1950-an; mereka menjadi manager di dalam imperium akademik; atau mereka dikooptasi kedalam “angkatan bersenjata” para pekerja sosial, analisis kemakmuran dan birokrat pendidikan. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang hanyut dalam kekuasaan tanpa memperhatikan lagi tanggung jawab sosialnya untuk memberikan sebuah intervensi terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Akhirnya terlihat adanya permasalahan didalam kaum intelektual itu sendiri, yaitu intelektual telah kehilangan kecendekiawanannya. Permasalahan para intelektual setidaknya dapat diklasifikasikan menjadi dua problem yaitu : Pertama, adalah problem keterasingan (kegelisahan) intelektual yang bersumber dari problem epistemologis. Problem ini menyangkut dimensi relativitas paradigmatis dan teoritis dari setiap kerangka pemikiran yang dipakai sebagai pendekatan untuk memahami berbagai fenomena eksistensial; baik manusia (jati diri) dan masyarakat (kultur), maupun alam semesta (natur), dan Kedua,adalah problem yang menyangkut dimensi moral-sosial, problem yang menyangkut dimensi moralitas dan etika Cendekiawan itu sendiri; bagaimana mengaktualisasikan tanggung jawab sosial, komitmen dan pemahaman moralitas-etik dirinya dalam konteks kehidupan riil masyarakatnya, baik dalam konteks politik, ekonomi maupun kebudayaan.
Sejak dasawarsa 80-an gejala intelektual yang terjadi di Indonesia adalah diferensiasi dan spesialisasi arena kegiatan kaum intelektual yaitu adanya lingkaran kecil di lingkungan intelektual dalam struktur teknokrati yang dihuni oleh unsur intelektual. Kaum intelektual selalu berbicara tentang problem mereka yang mendasar, yakni harus mencari nafkah hidup, sehingga mereka harus terlibat dalam birokrasi untuk mempertahankan kepentingan rakyat dan kebutuhan ekonominya. Dengan itulah mereka harus meninggalkan masyarakatnya, tidak bisa terlibat langsung dan tidak merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. Justru intelektual yang sudah menduduki kursi pemerintahan selalu hanyut dalam jabatan dan melupakan kepentingan rakyatnya. Begitu juga dengan agamawan kita serta para elit lain yang cenderung melupakan rakyatnya ketika sudah mendapatkan kedudukan.
 Hal ini tampak jelas dari kecenderungan elit politik, agamawan, dan elit ekonomi kita yang dalam tindakan kesehariannya tidak memperlihatkan usaha untuk merubah pelbagai tatanan kehidupan yang telah mengalami keterpurukan di berbagai bidang, malah yang tampak hanya usaha-usaha pelanggengan ketertindasan. Elit politik hanya sibuk pada perebutan kekuasaan, elit ekonomi sibuk berselingkuh dengan kaum kapital (berinvestasi), dan agamawan sibuk pada permasalahan fiqh, mendikte, serta mengajarkan tentang agama yang masih abstrak seperti suri tauladan para nabi secara luas, namun tidak pada titik permasalahan yang dirasakan masyarakat yaitu ketertindasan, kemiskinan, dan pengangguran. Ironisnya para agamawan bangsa ini terjerembab ikut dalam politik pragmatis.
Ali syari’ati dengan jiwa revolusionernya menentang para ilmuwan-gadungan, elit (penguasa), dan para pemimpin-pemimpin agama yang menyelewengkan ajaran Islam, meracuni jiwa rakyat dengan fatwa dan rakyat dibuat terus sibuk dengan sesuatu yang dinamakan agama, abstraksi-abstraksi tertentu yang tak berguna seperti cinta, harapan, kebencian, ketidaksenangan, dan dengan tangisan-tangisan dan kejadian-kejadian yang hanya sedikit mereka ketahui. Rakyat dibiasakan pada kehidupan gila-gilaan dengan gagasan tentang hari akhirat, sementara keadaan masa kini mereka dan musuh-musuh mereka terlupakan. Dengan kata lain, mereka selalu menawarkan gagasan kehidupan akhirat sedangkan kehidupan dunia terlupakan. Kehidupan dunia dianggap hanya sebuah permainan tuhan semata dan melihat permasalahn dunia sebagai takdir tuhan yang tak bisa diubah.
Melihat adanya fenomena tersebut, maka kehadiran intelektual muslim yang bertanggung jawab terhadap keadaan masyarakatnya sebagai sebuah alternatif untuk membangun Indonesia secara mendasar mutlak diperlukan. Karena Intelektual Muslim memiliki peran yang amat vital dan strategis dalam upaya mewujudkan masyarakat sipil atau civil society, bukan malah kebalikannya, seperti kebanyakan ulama “kyia” di seluruh penjuru dunia umumnya dan khususnya di Indonesia yang hanya memberi doktrin-doktrin semata dan menjadikan masyarakat tertidur dengan doktrin tersebut. 

1 komentar:

Menyusun Best Practices

  LK 3.1 Menyusun Best Practices   Menyusun Cerita Praktik Baik (Best Practice) Menggunakan Metode Star (Situasi, Tantangan, Aksi...